Kamis, 03 Januari 2013

Let It Be #chapter2





Alviano Aditya Fauzi’s POV

                  Telah lama aku memendam perasaan ini, hmm sakit, sungguh sakit, tapi mau bagaimana lagi, aku tidak berani mengungkapkannya, karena ada hal yang menghalangi ku. Aku harus memilih apa yang harus aku lakukan. Dan aku memilih untuk diam. Memalsukan semua senyumanku, walau ku tau semuanya begitu perih.
                  Bel masuk istirahat bunyi. Aku masuk dengan cepat, karena aku ingin melihatnya masuk, dari dalam kelas. Sungguh pemandangan yang indah. Tanpa sadar senyum mulai menghiasi wajahku, kuharap tidak ada yang melihatku, tapi aku salah, ternyata Ditra, sahabatku, tidak sengaja melihat senyumku itu. Semoga dia tidak peka, mengapa aku bisa tersenyum.

“Eciyeee, sahabat kesurupan apa nih? Siang panas gini senyam-senyum”
“Sst berisik ah. Gapapa ko”
“Masa? “ dia mulai melihat sekeliling. Dan ya! Dia tau.
“Ohh.. gue paham. Karena cewe dideket pintu itu?”
“Hah? Euum.. sst jangan bilang-bilang ya Dit”
“Tuh kan. Hahaha! Tenang sejak kapan sih gue bocor? Hm emang sejak kapan?”
“Sejak dia duduk deket bangku gue. Sejak tawanya berhasil memalingkan dunia gue”
“Ah sok puitis lo! Bete deh, hahaha”
“Eh seriusss! Jangan ketawaa”
“Hahaha iya gue serius” Muka Ditra langsung berubah menjadi sangat serius.
“Ah lo tuh ya, bete ah. Gue lanjut 1cak-an aja”
“Eh eh iya iyaa, nih gue serius, jangan 1cak-an mulu, lo udah jayus nanti tambah jayus tau” Ditra tertawa sambil menutup laptop.
“Eh Dit, menurut lo kalau gue beneran suka sama dia gimana ?”
“Gimana apanyaa? Ya ga gimana-gimana kaliiii”
“Ih lo tuh ga peka atau apa sih. Nih ya, lo kan tau sahabat kita ada yang lagi ngejer dia juga.”
“Siapa? Ah iyaa Teseng! Oh my god”
“Alay ah lo! Serius, ya gue ga enak lah.. tapi gue juga suka sama tuh cewek”
“hehe alay kreatif Al. Hm iya sih, kalau kata gue sih, dari pada nanti ada salah paham gitu, mending lo bilang ke Teseng yang sebenernya, hm atau ga lo mundur, move ke Sarah aja tuh Al”
“Bilang gimana tapi ? hah ? Sarah ? dia kan lagi ngejer si Oong kan?”
“Hmm ya bilang yang lo rasain ke Oin, toh lo suka sama Oin lebih dulu kan dari pada Kresna? Hahaha yaa gapapa embat aja si Sarah”
“Gue.. Gue ga berani Dit. Gue pendem aja deh”
“Gila ya lo, sakit kali! Cape, lo mau ngebatin sampe kapan? Sampe Sarah kurus?”
“Ih lo tuh yaa Sarah mulu, jangan-jangan lo yang suka lagi”
“Idih maho itu mah”
“Udah ah, keputusannya gue pikir-pikir lagi dulu”
“Okee.. Nanti cerita lagi ke gue yaa”
“Pengen banget? Ga ah”
“Pengen banget banget. Ih jahat lo! Kamprett”
“Iya sih Cuk tenang aja”
“Hahaha iyaiya. Udah ya gue ngerjain pr dulu, ada yang belum”
“Oke oke.”

                  Mata aku emang menatap ke layar laptop, tapi fikiran aku... terfikir sama cewek itu. Haruskah aku mundur? Atau seperti yang Ditra bilang? Aku harus mengatakan semuanya? Sungguh. Penyesalan memang datang terakhir. Seharusnya memang dari dulu aku mengatakan ini semua ke Oin, tapi tidak ada waktu&suasana yang tepat untuk mengatakannya, hati ku pun belum siap menerima jawaban apa yang akan ia beri.


Rafi Rizaldy’s POV

                  Hmm aku tau kita bertiga sahabatan, kita bertiga selalu bertiga. Bisa dibilang kita itu termasuk cowo kece dikelas, i think. But, we have many differences. Imam, dia itu cowok yang cuek banget, sekalinya marah anak kelas langsung pada diem, tapi kalau kita deket dia itu baik banget ko. Rafi W dia itu pendiem, suka gambar, dan jayus. Sedangkan aku, periang, sangat suka musik, dan humoris. Kita memang punya banyak perbedaan, tapi kalau disatuin kita bisa jadi orang yang super jail. Kita suka menertawakan sesuatu yang menurut kita lucu, atau ga biasa.
                  Sampai suatu saat aku merasa berbeda, bukan karena perbedaan sifat kita bertiga, tapi.. Mereka berdua itu sama-sama di ekskul baseball, aku tidak. Yaa memang itu bukan hal yang patut dibesar-besarkan, tapi kelas sepi rasanya kalau mereka pergi untuk tournament atau hanya sekedar latihan. Yang pasti aku selalu hadir kalau mereka sedang ada lomba.
                  Piwe dan Imam, aku merasa mereka memiliki dunia sendiri, dimana mereka bisa saling bertukar pikiran di tempat latihan, saling bercanda. Aku hanya akan bertemu dan bersama mereka di sekolah, tepatnya dikelas. Aku memang tidak pernah sendiri dikelas, tapi beda rasanya jika tanpa kehadiran kedua sahabatku.
                  Aku memang bukan anak yang aktif, aku jarang kumpul dengan teman ku seperti Layung. Egi, Ganar, dll. aku lebih memilih untuk diam dikelas, atau membeli beberapa makanan dikantin.

“Fi, emang bener ya Imam sama Sarach?” tanya Morien
“Hah? Eumm iya Mor”
“Oh gitu okeoke,”
“Emang kamu kata siapa?”
“Ga kata siapa-siapa, denger aja dri gosip, makanya aku langsung nanya ke kamu, bener atau ngga”
“Oh gitu oke”

                  Ha? Really? Ko aku gatau yaa.. hmm aku baru sadar untung ada Morien yang secara tidak sengaja ngasih tau. Mungkin Imam cerita ke Piwe, mungkin memang aku belum dikasih tau, atau aku sengaja ga dikasih tau, apa mereka udah ga percaya sama aku? Kini semakin banyak pertanyaan yang muncul diotakku. Aku semakin bingung. Ada apa ini? walau bagaimana pun juga, aku harus tetap positive thinking, right? kita tunggu aja


Annisa Kusumawardani’s POV

                  Kulihat dia dari jauh. Si jaket merah. Dia adalah semangatku untuk datang kesekolah ini, lebih tepatnya ke kelas ini. aku sudah mengaguminya dari kelas 7. Senang rasanya akhirnya aku bisa sekelas denganya.
                  Dia sangat suka dengan anime. Aku pernah memintanya menggambarkan Greyson Chance. Gambar yang sangat bagus dibuat olehnya. Oleh tangannya sendiri.
                  Bel masuk berbunyi. Aku sedang bermain laptop. Tapi, mataku tidak mengarah pada laptop. Mataku mengarah pada seorang laki-laki didekat pintu yang sedang sibuk dengan buku menggambarnya.
                  Matanya yang bersinar itu, melihat kearah ku. Apa dia melihatku? Atau ternyata dia memerhatikan ku dari tadi? Setelah melihat ke arah yang ia lihat tadi, ternyata bukan aku yang ia lihat. Ia.. ia memerhatikan sahabat ku. Ainun. Dia. Apakah dia suka dengan Ainun?
                  Oh sungguh hatiku seperti dipukul dengan sebatang kayu yang sangat tebal. Seperti ditusuk oleh jarum yang sangat tajam. Sakit. Sakit sekali.

“Sabar aja Nis, toh kamu belum dapet kepastian juga kan dari dia? Jangan nebak gitu” kata Nadhira sahabatku.
“Tapi aku udah terlanjur sakit banget Nad, kalau emang beneran suka?”
“Yaa lamu bakal bahagia juga kan ngeliat dia bahagia?”
“Hmm gatau, iya kali”
“Cowo ga cuman dia kali, tenang aja”
“Hmm let’s see aja yaa. Aku bisa move atau ngga”
“Oke! Semangattt!!”

                  Ainun. Kenapa harus dia? Kenapa dia? Kenapa harus sahabat aku yang kamu suka? Bingung.
                  Aku cuman mau setidaknya kamu bisa tau perasaan aku, dan meresponnya, aku akan berusaha untuk menerima apapun jawabannya. Tapi yang menjadi masalah, aku sendiri tidak berani untuk bertanya padanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar